Jumat, 23 Mei 2014

ASASIN (2)

Orang pertama yang menjadi sasaran pembunuhan kaum Assassin adalah Nizam al-Muluk (w. 1092). Ia merupakan wazir paling penting Dinasti Saljuk, sekaligus salah satu tokoh utama kebangkitan kembali Ahlu Sunnah pada masa itu, selain Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) dari kalangan ulama. Nizam al-Muluk dibunuh saat melakukan perjalanan haji pada tahun 1092.
Ketika ia tiba di daerah Nahawand, seorang pemuda Dailam yang menyusup ke rombongannya dengan mengenakan pakaian Sufi meminta izin untuk mendekat kepadanya. Saat ia diberi izin dan mendekat kepada Nizam al-Muluk, ia langsung mengeluarkan belati dan menikam sang wazir tepat di jantungnya. Nizam al-Muluk wafat tak lama kemudian.
Pemuda Dailam yang merupakan pengikut Hasan al-Sabbah itu berhasil ditangkap dan dihukum mati.Namun perbuatannya itu tidak hanya mengakhiri hidup satu orang, tetapi memberi dampak serius pada Dinasti Saljuk secara keseluruhan, karena Nizam al-Muluk adalah arsitek sesungguhnya dari Dinasti tersebut.
Beberapa waktu kemudian, masih pada tahun yang sama, Sultan Turki Saljuk, Maliksyah, meninggal dunia. Setelah itu, Dinasti Saljuk mengalami perpecahan dan kemunduran, dan tidak pernah bangkit kembali setelahnya.
Dengan melemahnya Dinasti Saljuk, maka kaum Assassin menjadi lebih leluasa dalam menyebarkan pengaruhnya di wilayah-wilayah Sunni. Pecah dan melemahnya Dinasti Saljuk juga menjadi faktor utama yang mendorong terjadinya Perang Salib I, karena Byzantium melihat peluang di balik perpecahan itu dan ia mengajak orang-orang Frank (Eropa Barat) untuk melakukan serangan ke Asia Minor dan Suriah. Saat pasukan salib masuk dan menetap di wilayah Suriah dan Palestina nantinya kita akan menemukan kaum Assassin dalam banyak kesempatan menjalin hubungan persahabatan dengan orang-orang Frank. Karena musuh utama mereka adalah Ahlu Sunnah, bukan orang-orang Kristen Eropa.
Menjelang atau bertepatan dengan masuknya pasukan salib ke Asia Minor dan Suriah itu pula terjadi perpecahan di dunia Syiah Ismailiyah. Khalifah Fatimiyah, al-Mustansir, wafat pada tahun 1094. Nizar yang merupakan putera mahkota digulingkan dari kekuasaan oleh wazir al-Afdal. Adik Nizar, al-Musta’li, diangkat oleh al-Afdal sebagai khalifah yang baru. Nizar menolak menerima hal itu, tetapi akhirnya ia mati dibunuh.
Banyak kalangan Ismailiyah di luar Mesir tidak bisa menerima hal itu, terutama yang berada di kawasan Iran dan sekitarnya.Bagi mereka, Nizar merupakan putra mahkota yang sah. Hal ini juga sejalan dengan doktrin Ismailiyah yang menetapkan anak pertama dari imam sebelumnya sebagai imam penerus, sebagaimana penetapan mereka atas Ismail sebagai imam Syiah ketujuh yang sah, dan bukan Musa al-Kadzim, karena Ismail merupakan anak tertua Ja’far Shadiq.
Mereka yang mendukung Nizar selanjutnya disebut sebagai Nizari, dan Hasan al-Sabbah merupakan pendukung terkuatnya.Sejak itu mulai berkembang ide tentang ghaibnya Imam Nizar di kalangan Nizari, atau dikatakan bahwa keturunannya telah melarikan diri dari Kairo dan berlindung di benteng Alamut sebagaimana yang diklaim pihak al-Sabbah.Pada intinya, para pendukung Nizar kini berseberangan dan bermusuhan dengan pusat kekuasaan Fatimiyah di Mesir.Dengan begitu, Alamut dan kastil-kastil pendukungnya menjadi sentral pemerintahan Ismailiyah (Nizari) yang bergerak secara independen, terpisah dari pemerintahan Kairo.
Teror kaum Sunni
Sejak keberhasilannya dalam membunuh Nizam al-Muluk, kaum Assassin menggunakan metode yang sama untuk meneror para pemimpin Sunni. Beberapa pemimpin di dunia Sunni menjadi korban pembunuhan kaum Assassin di sepanjang abad ke-12.Kaum Assassin menyamar dan menyusup ke tempat yang biasa diakses calon korbannya.Kadang mereka mampu menyusup dan menjadi orang-orang kepercayaan di lingkaran terdekat si calon korban, dan siap menerima instruksi dari Tuan mereka untuk melakukan eksekusi.
Mereka menyamar sebagai tentara, sebagai pelayan, sebagai pedagang, atau sebagai seorang Sufi yang berpakaian sederhana.
Ketika saatnya tiba, mereka melakukan serangan mematikan tanpa diduga. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Amin Maalouf dalam bukunya “The Crusades through Arab Eyes“, walaupun persiapannya selalu dijalankan dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi, eksekusinya dilaksanakan di tempat terbuka, bahkan di depan kerumunan yang besar. Itulah sebabnya mengapa lokasi (pembunuhan) yang disukai adalah masjid, hari favoritnya adalah Jum’at, dan pada umumnya (dilakukan) pada tengah hari.”
Pada masa-masa berikutnya, “Semua pemimpin Muslim Sunni belajar untuk takut kepada mereka, demikian pula dengan kaum Salib (Crusaders) tak lama setelahnya …,” tulis Michael Paine dalam The Crusades. “Rasa takut terhadap serangan mendadak yang tak diduga di tengah kerumunan pasar atau di lapangan meningkat hingga ke level paranoia di kalangan sebagian pemimpin.”
Aksi-aksi kaum Assassin (Batiniyah) memakan banyak korban, bukan hanya para emir Muslim, tapi juga para ulama.Bahkan Khalifah Fatimiyah, al-Amir Bi-Ahkamillah (w. 1130), dan Khalifah Abbasiyah, al-Mustarsyid (w. 1135), termasuk yang menjadi korban pembunuhan Assassin.Begitu banyak kasus pembunuhan, “sehingga memaksa beberapa pejabat memakai baju pengaman dari besi yang dipasang di balik baju,” tulis al-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa’.Mereka mengenakan baju besi itu pada hari-hari yang biasa, di luar masa-masa peperangan.
Belakangan, pemimpin Frank pun ada yang menjadi korban pembunuhan kelompok ini, di antaranya yang terkenal adalah Conrad of Montferrat (w. 1192) yang dibunuh pada akhir masa Perang Salib III.
“Keyakinan dan metode mereka (Assassin, pen.) menjadikan mereka buah bibir dalam hal fanatisme dan terorisme di Suriah dan Persia pada abad ke-11 dan 12, dan menjadi subyek mitos dan legenda yang tumbuh dengan subur,” tulis Philippus Laurentinus, seorang Grand Master Elder Brethren Rose and Cross, dalam Baphomet Veneration among the Crusaders.
Sementara sebagian pemimpin merasa khawatir dengan ancaman pembunuhan Assassin, sebagian lainnya justru menjalin hubungan secara diam-diam dan memanfaatkan jasa dan keterampilan mereka yang unik.
Kaum Assassin sendiri belakangan bersedia melakukan aksi pembunuhan yang diminta oleh pihak lain dengan menerima bayaran tertentu. Karakteristik inilah yang menemukan jalannya ke Eropa menjadi sebuah kosa kata yang khas untuk menggambarkan perilaku yang sama. Assassin dalam bahasa Inggris yang digunakan sekarang ini kurang lebih bermakna “seseorang yang membunuh orang lainnya, biasanya orang penting atau terkenal, untuk alasan politik atau uang.”
Kata Assassin sendiri sebenarnya tidak begitu populer di tengah masyarakat Muslim Timur Tengah ketika itu.Mereka biasanya menyebut kelompok ini, dan kalangan Ismailiyah pada umumnya, dengan sebutan Batiniyah.Hal ini disebabkan, sebagaimana dijelaskan oleh Ali M. Sallabi  dalam bukuSalah ad-Deen al-Ayubi, mereka meyakini bahwa untuk setiap yang tampak (zahir) terdapat manifestasi yang tersembunyi (batin) dan bagi setiap wahyu ada interpretasinya (yang bersifat batin atau esoteris, pen.). Selain itu, mereka juga cenderung menyembunyikan dakwah dan keyakinan mereka saat berada di tengah komunitas Ahlu Sunnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar