Orang pertama yang menjadi sasaran pembunuhan kaum Assassin adalah
Nizam al-Muluk (w. 1092). Ia merupakan wazir paling penting Dinasti
Saljuk, sekaligus salah satu tokoh utama kebangkitan kembali Ahlu Sunnah
pada masa itu, selain Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) dari kalangan
ulama. Nizam al-Muluk dibunuh saat melakukan perjalanan haji pada tahun
1092.
Ketika ia tiba di daerah Nahawand, seorang pemuda Dailam yang
menyusup ke rombongannya dengan mengenakan pakaian Sufi meminta izin
untuk mendekat kepadanya. Saat ia diberi izin dan mendekat kepada Nizam
al-Muluk, ia langsung mengeluarkan belati dan menikam sang wazir tepat
di jantungnya. Nizam al-Muluk wafat tak lama kemudian.
Pemuda Dailam yang merupakan pengikut Hasan al-Sabbah itu berhasil
ditangkap dan dihukum mati.Namun perbuatannya itu tidak hanya mengakhiri
hidup satu orang, tetapi memberi dampak serius pada Dinasti Saljuk
secara keseluruhan, karena Nizam al-Muluk adalah arsitek sesungguhnya
dari Dinasti tersebut.
Beberapa waktu kemudian, masih pada tahun yang sama, Sultan Turki
Saljuk, Maliksyah, meninggal dunia. Setelah itu, Dinasti Saljuk
mengalami perpecahan dan kemunduran, dan tidak pernah bangkit kembali
setelahnya.
Dengan melemahnya Dinasti Saljuk, maka kaum Assassin menjadi lebih
leluasa dalam menyebarkan pengaruhnya di wilayah-wilayah Sunni. Pecah
dan melemahnya Dinasti Saljuk juga menjadi faktor utama yang mendorong
terjadinya Perang Salib I, karena Byzantium melihat peluang di balik
perpecahan itu dan ia mengajak orang-orang Frank (Eropa Barat) untuk
melakukan serangan ke Asia Minor dan Suriah. Saat pasukan salib masuk
dan menetap di wilayah Suriah dan Palestina nantinya kita akan menemukan
kaum Assassin dalam banyak kesempatan menjalin hubungan persahabatan
dengan orang-orang Frank. Karena musuh utama mereka adalah Ahlu Sunnah,
bukan orang-orang Kristen Eropa.
Menjelang atau bertepatan dengan masuknya pasukan salib ke Asia Minor
dan Suriah itu pula terjadi perpecahan di dunia Syiah Ismailiyah.
Khalifah Fatimiyah, al-Mustansir, wafat pada tahun 1094. Nizar yang
merupakan putera mahkota digulingkan dari kekuasaan oleh wazir al-Afdal.
Adik Nizar, al-Musta’li, diangkat oleh al-Afdal sebagai khalifah yang
baru. Nizar menolak menerima hal itu, tetapi akhirnya ia mati dibunuh.
Banyak kalangan Ismailiyah di luar Mesir tidak bisa menerima hal itu,
terutama yang berada di kawasan Iran dan sekitarnya.Bagi mereka, Nizar
merupakan putra mahkota yang sah. Hal ini juga sejalan dengan doktrin
Ismailiyah yang menetapkan anak pertama dari imam sebelumnya sebagai
imam penerus, sebagaimana penetapan mereka atas Ismail sebagai imam
Syiah ketujuh yang sah, dan bukan Musa al-Kadzim, karena Ismail
merupakan anak tertua Ja’far Shadiq.
Mereka yang mendukung Nizar selanjutnya disebut sebagai Nizari, dan
Hasan al-Sabbah merupakan pendukung terkuatnya.Sejak itu mulai
berkembang ide tentang ghaibnya Imam Nizar di kalangan Nizari, atau
dikatakan bahwa keturunannya telah melarikan diri dari Kairo dan
berlindung di benteng Alamut sebagaimana yang diklaim pihak
al-Sabbah.Pada intinya, para pendukung Nizar kini berseberangan dan
bermusuhan dengan pusat kekuasaan Fatimiyah di Mesir.Dengan begitu,
Alamut dan kastil-kastil pendukungnya menjadi sentral pemerintahan
Ismailiyah (Nizari) yang bergerak secara independen, terpisah dari
pemerintahan Kairo.
Teror kaum Sunni
Sejak keberhasilannya dalam membunuh Nizam al-Muluk, kaum Assassin
menggunakan metode yang sama untuk meneror para pemimpin Sunni. Beberapa
pemimpin di dunia Sunni menjadi korban pembunuhan kaum Assassin di
sepanjang abad ke-12.Kaum Assassin menyamar dan menyusup ke tempat yang
biasa diakses calon korbannya.Kadang mereka mampu menyusup dan menjadi
orang-orang kepercayaan di lingkaran terdekat si calon korban, dan siap
menerima instruksi dari Tuan mereka untuk melakukan eksekusi.
Mereka menyamar sebagai tentara, sebagai pelayan, sebagai pedagang, atau sebagai seorang Sufi yang berpakaian sederhana.
Ketika saatnya tiba, mereka melakukan serangan mematikan tanpa
diduga. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Amin Maalouf dalam bukunya “The
Crusades through Arab Eyes“, walaupun persiapannya selalu dijalankan
dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi, eksekusinya dilaksanakan di
tempat terbuka, bahkan di depan kerumunan yang besar. Itulah sebabnya
mengapa lokasi (pembunuhan) yang disukai adalah masjid, hari favoritnya
adalah Jum’at, dan pada umumnya (dilakukan) pada tengah hari.”
Pada masa-masa berikutnya, “Semua pemimpin Muslim Sunni belajar untuk takut kepada mereka, demikian pula dengan kaum Salib (Crusaders) tak lama setelahnya …,” tulis Michael Paine dalam The Crusades.
“Rasa takut terhadap serangan mendadak yang tak diduga di tengah
kerumunan pasar atau di lapangan meningkat hingga ke level paranoia di
kalangan sebagian pemimpin.”
Aksi-aksi kaum Assassin (Batiniyah) memakan banyak korban, bukan
hanya para emir Muslim, tapi juga para ulama.Bahkan Khalifah Fatimiyah,
al-Amir Bi-Ahkamillah (w. 1130), dan Khalifah Abbasiyah, al-Mustarsyid
(w. 1135), termasuk yang menjadi korban pembunuhan Assassin.Begitu
banyak kasus pembunuhan, “sehingga memaksa beberapa pejabat memakai baju
pengaman dari besi yang dipasang di balik baju,” tulis al-Suyuthi dalam
Tarikh Khulafa’.Mereka mengenakan baju besi itu pada hari-hari yang biasa, di luar masa-masa peperangan.
Belakangan, pemimpin Frank pun ada yang menjadi korban pembunuhan kelompok ini, di antaranya yang terkenal adalah Conrad of Montferrat (w. 1192) yang dibunuh pada akhir masa Perang Salib III.
“Keyakinan dan metode mereka (Assassin, pen.) menjadikan mereka buah
bibir dalam hal fanatisme dan terorisme di Suriah dan Persia pada abad
ke-11 dan 12, dan menjadi subyek mitos dan legenda yang tumbuh dengan
subur,” tulis Philippus Laurentinus, seorang Grand Master Elder Brethren
Rose and Cross, dalam Baphomet Veneration among the Crusaders.
Sementara sebagian pemimpin merasa khawatir dengan ancaman pembunuhan
Assassin, sebagian lainnya justru menjalin hubungan secara diam-diam
dan memanfaatkan jasa dan keterampilan mereka yang unik.
Kaum Assassin sendiri belakangan bersedia melakukan aksi pembunuhan
yang diminta oleh pihak lain dengan menerima bayaran tertentu.
Karakteristik inilah yang menemukan jalannya ke Eropa menjadi sebuah
kosa kata yang khas untuk menggambarkan perilaku yang sama. Assassin
dalam bahasa Inggris yang digunakan sekarang ini kurang lebih bermakna
“seseorang yang membunuh orang lainnya, biasanya orang penting atau
terkenal, untuk alasan politik atau uang.”
Kata Assassin sendiri sebenarnya tidak begitu populer di tengah
masyarakat Muslim Timur Tengah ketika itu.Mereka biasanya menyebut
kelompok ini, dan kalangan Ismailiyah pada umumnya, dengan sebutan
Batiniyah.Hal ini disebabkan, sebagaimana dijelaskan oleh Ali M.
Sallabi dalam bukuSalah ad-Deen al-Ayubi, mereka meyakini bahwa untuk
setiap yang tampak (zahir) terdapat manifestasi yang tersembunyi (batin)
dan bagi setiap wahyu ada interpretasinya (yang bersifat batin atau
esoteris, pen.). Selain itu, mereka juga cenderung menyembunyikan dakwah
dan keyakinan mereka saat berada di tengah komunitas Ahlu Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar