Jumat, 23 Mei 2014

ASASIN (3) end

KATA yang menjadi asal usul kata ‘Assassin’, yaitu kata ‘al-Hasyiyiyah’ sebenarnya muncul belakangan di wilayah Suriah.
Kata ini berasal dari kata ‘hasyisy’ yang merujuk pada sejenis narkotika yang terdapat di wilayah Suriah. Digunakannya kata ini membuat sebagian orang percaya bahwa para pemimpin Assassin menggunakan obat-obatan terlarang untuk memberikan efek surgawi kepada para pengikutnya, sehingga mereka berani melakukan aksi bunuh diri.
Namun mungkin juga kata ini digunakan sebagai kiasan untuk menunjukkan penyimpangan kaum Assassin serta tindakan mereka yang menjijikkan, bukan mengacu pada penggunaan obat-obatan terlarang yang sesungguhnya.
Beberapa kisah menceritakan metode yang digunakan oleh para pemimpin Assassin untuk membangun ketaatan para pengikutnya sehingga mereka siap untuk mati.Dikatakan bahwa para calon pembunuh ini telah diambil dari desa-desa di sekitar benteng Assassin dan diasuh sejak kecil dengan doktrin-doktrin yang dikembangkan oleh para pemimpin Assassin.
Mereka tumbuh dalam ketaatan penuh pada pemimpinnya.Menjelang diberikannya misi pembunuhan, mereka diundang secara khusus dan diberi minuman yang membuat mereka tertidur.Kemudian tubuh mereka dipindahkan ke sebuah tempat khusus yang telah disiapkan.Tempat itu berisi berbagai kenikmatan, termasuk perempuan-perempuan penyanyi yang mempesona, sehingga mereka merasa sedang berada di dalam surga.Akhirnya mereka kembali diberi minuman yang membuat mereka tertidur dan tubuh mereka dipindahkan lagi ke tempat semula.
Pengalaman itu menjadikan mereka sangat bersemangat untuk menjalankan misi yang diberikan, sehingga mereka mati dalam menjalankan misi tersebut.
Terlepas dari kisah di atas, para fida’i Assassin memang mentaati Tuan (Master) mereka sepenuhnya, bahkan jika mereka diperintahkan untuk membunuh diri mereka sendiri.Seolah-olah mereka menyerahkan jiwa mereka sepenuhnya kepada pemimpin mereka.
Kemampuan pemimpin Assassin, yang di wilayah Suriah dikenal sebagai Orangtua (Syaikh/ Old Man), di dalam membangun ketaatan ini menjadi kiasan di kalangan para penulis dan penyair Eropa.
“Kau menggenggamku lebih kuat,” kata seorang penyair Eropa kepada gadis pujaannya,”ketimbang sang Orangtua menggenggam para Assassin yang pergi untuk membunuh musuh-musuh­nya.” Cuplikan syair di atas dapat ditemukan dalam buku Bernard Lewis, “Assassin”.
Ibnu Katsir dalam “Bidayah wa Nihayah” menyebutkan bahwa saat Hasan al-Sabbah mulai menjadi ancaman di wilayah Iran, Sultan Maliksyah mengirim tentara dan utusan kepadanya dengan membawa surat berisi ancaman agar ia menghentikan aksi-aksi pembunuhannya.
Saat membaca surat itu di hadapan utusan Maliksyah, Hasan memberi isyarat kepada para pemuda di sekitarnya. Ia kemudian memerintahkan seorang pemuda untuk membunuh dirinya sendiri. Pemuda itu pun langsung mengeluarkan sebilah belati dan menusuk bagian bawah dagunya sendiri hingga mati.Lalu Hasan memerintahkan seorang pemuda lainnya untuk menjatuhkan dirinya dari sebuah tempat yang tinggi. Hal itu segera dilaksanakan sehingga ia jatuh dan mati. Kemudian Hasan berkata kepada utusan Sultan, “Inilah jawabannya (dari surat itu, pen.).” Maka Sultan Maliksyah pun menahan diri dari memerangi Hasan al-Sabbah.
Menariknya, kita juga menemukan kisah yang mirip di buku yang ditulis oleh penulis Frank sejaman pada masa Perang Salib III yang dihimpun oleh Peter W. Edbury dalam “The Conquest of Jerusalem and the Third Crusade”.
Hanya saja kisah ini terjadi sekitar satu abad kemudian di wilayah Suriah.Ketika itu pemimpin Assassin di Suriah ingin membangun kembali hubungan mereka dengan orang-orang Frank dan mengundang raja mereka, Henry II of Champagne (w. 1197), ke kastil Assassin.
Saat berada di tempat itu, pemimpin Assassin mendemonstrasikan ketaatan anak buahnya yang satu demi satu diperintahkan untuk membunuh diri mereka sendiri.Henry tampaknya sangat terkejut dengan aksi itu dan meminta agar hal itu dihentikan.
Walaupun berhasil membangun sebuah organisasi teror yang menakutkan banyak orang pada masa itu, keseharian Hasan al-Sabbah jauh dari kesan brutal.Ia merupakan seorang yang ketat dalam menjalankan keyakinannya. Ia tidak pernah keluar dari benteng Alamut sejak ia memasukinya pada tahun 1090 sehingga ia wafat pada tahun 1124 dan dikuburkan di tempat yang sama.
Aktivitasnya dihabiskan dengan membaca, menulis, dan mengendalikan organisasi yang dibangunnya.Ia membangun sebuah perpustakaan di dalam benteng Alamut yang koleksi bukunya kelak membuat takjub banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar