KATA yang menjadi asal usul kata ‘Assassin’, yaitu kata ‘al-Hasyiyiyah’ sebenarnya muncul belakangan di wilayah Suriah.
Kata ini berasal dari kata ‘hasyisy’ yang merujuk pada sejenis
narkotika yang terdapat di wilayah Suriah. Digunakannya kata ini membuat
sebagian orang percaya bahwa para pemimpin Assassin menggunakan
obat-obatan terlarang untuk memberikan efek surgawi kepada para
pengikutnya, sehingga mereka berani melakukan aksi bunuh diri.
Namun mungkin juga kata ini digunakan sebagai kiasan untuk
menunjukkan penyimpangan kaum Assassin serta tindakan mereka yang
menjijikkan, bukan mengacu pada penggunaan obat-obatan terlarang yang
sesungguhnya.
Beberapa kisah menceritakan metode yang digunakan oleh para pemimpin
Assassin untuk membangun ketaatan para pengikutnya sehingga mereka siap
untuk mati.Dikatakan bahwa para calon pembunuh ini telah diambil dari
desa-desa di sekitar benteng Assassin dan diasuh sejak kecil dengan
doktrin-doktrin yang dikembangkan oleh para pemimpin Assassin.
Mereka tumbuh dalam ketaatan penuh pada pemimpinnya.Menjelang
diberikannya misi pembunuhan, mereka diundang secara khusus dan diberi
minuman yang membuat mereka tertidur.Kemudian tubuh mereka dipindahkan
ke sebuah tempat khusus yang telah disiapkan.Tempat itu berisi berbagai
kenikmatan, termasuk perempuan-perempuan penyanyi yang mempesona,
sehingga mereka merasa sedang berada di dalam surga.Akhirnya mereka
kembali diberi minuman yang membuat mereka tertidur dan tubuh mereka
dipindahkan lagi ke tempat semula.
Pengalaman itu menjadikan mereka sangat bersemangat untuk menjalankan
misi yang diberikan, sehingga mereka mati dalam menjalankan misi
tersebut.
Terlepas dari kisah di atas, para fida’i Assassin memang mentaati
Tuan (Master) mereka sepenuhnya, bahkan jika mereka diperintahkan untuk
membunuh diri mereka sendiri.Seolah-olah mereka menyerahkan jiwa mereka
sepenuhnya kepada pemimpin mereka.
Kemampuan pemimpin Assassin, yang di wilayah Suriah dikenal sebagai
Orangtua (Syaikh/ Old Man), di dalam membangun ketaatan ini menjadi
kiasan di kalangan para penulis dan penyair Eropa.
“Kau menggenggamku lebih kuat,” kata seorang penyair Eropa kepada
gadis pujaannya,”ketimbang sang Orangtua menggenggam para Assassin yang
pergi untuk membunuh musuh-musuhnya.” Cuplikan syair di atas dapat
ditemukan dalam buku Bernard Lewis, “Assassin”.
Ibnu Katsir dalam “Bidayah wa Nihayah” menyebutkan bahwa saat Hasan
al-Sabbah mulai menjadi ancaman di wilayah Iran, Sultan Maliksyah
mengirim tentara dan utusan kepadanya dengan membawa surat berisi
ancaman agar ia menghentikan aksi-aksi pembunuhannya.
Saat membaca surat itu di hadapan utusan Maliksyah, Hasan memberi
isyarat kepada para pemuda di sekitarnya. Ia kemudian memerintahkan
seorang pemuda untuk membunuh dirinya sendiri. Pemuda itu pun langsung
mengeluarkan sebilah belati dan menusuk bagian bawah dagunya sendiri
hingga mati.Lalu Hasan memerintahkan seorang pemuda lainnya untuk
menjatuhkan dirinya dari sebuah tempat yang tinggi. Hal itu segera
dilaksanakan sehingga ia jatuh dan mati. Kemudian Hasan berkata kepada
utusan Sultan, “Inilah jawabannya (dari surat itu, pen.).” Maka Sultan
Maliksyah pun menahan diri dari memerangi Hasan al-Sabbah.
Menariknya, kita juga menemukan kisah yang mirip di buku yang ditulis
oleh penulis Frank sejaman pada masa Perang Salib III yang dihimpun
oleh Peter W. Edbury dalam “The Conquest of Jerusalem and the Third Crusade”.
Hanya saja kisah ini terjadi sekitar satu abad kemudian di wilayah
Suriah.Ketika itu pemimpin Assassin di Suriah ingin membangun kembali
hubungan mereka dengan orang-orang Frank dan mengundang raja mereka,
Henry II of Champagne (w. 1197), ke kastil Assassin.
Saat berada di tempat itu, pemimpin Assassin mendemonstrasikan
ketaatan anak buahnya yang satu demi satu diperintahkan untuk membunuh
diri mereka sendiri.Henry tampaknya sangat terkejut dengan aksi itu dan
meminta agar hal itu dihentikan.
Walaupun berhasil membangun sebuah organisasi teror yang menakutkan
banyak orang pada masa itu, keseharian Hasan al-Sabbah jauh dari kesan
brutal.Ia merupakan seorang yang ketat dalam menjalankan keyakinannya.
Ia tidak pernah keluar dari benteng Alamut sejak ia memasukinya pada
tahun 1090 sehingga ia wafat pada tahun 1124 dan dikuburkan di tempat
yang sama.
Aktivitasnya dihabiskan dengan membaca, menulis, dan mengendalikan
organisasi yang dibangunnya.Ia membangun sebuah perpustakaan di dalam
benteng Alamut yang koleksi bukunya kelak membuat takjub banyak orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar